Hai anakKu, mengapa engkau membagi hatimu, bukankah aku kekasih hatimu satu- satunya?” Doa seorang ibu dari Jakarta itu mengejutkan saya. Tidak pernah saya berkonsultasi dengan ibu itu, tetapi dalam tumpangan tangannya, dalam suatu kegiatan kelompok doa di Jl. Penghibur Dukalara, melompatlah kata-kata di atas. Penyingkapan apa yang tersembunyi itu merupakan penemuan indah. Pada masa muda saya cukup mengandalkan diri, tetapi pada masa tua barulah saya menyadari hanya Dialah yang kuat. Kurun waktu panjang yang telah saya lewati dengan selamat, hanya karena bantuan rahmat-Nya. Maka walaupun sharing ini saya memakai subyek saya, namun yang saya mau katakan adalah karya pernyertaan-Nya terhadap saya. Saya tidak muda lagi, tidak ada yang dapat dibanggakan, kecuali hanya satu yang perlu selalu diandalkan, YESUS.
Saya ingin memulai sharing saya ini dari kalimat majemuk bertingkat buatan ibu dari Jakarta itu.
Pertama, “Mengapa kau membagi hatimu?”
Dulu saya beranggapan kalau sudah memasuki usia duapuluhan ke atas soal ”love-love”-an itu akan hilang sendiri ditelan air Danau Toba yang luas dan dalam. Ternyata anggapan itu tidak benar. Pengalaman mencatat bahwa hati penulis pernah terbagi. Hati itu bekerja keras mendeteksi dimana Dia yang tersisi, tertindas ternyata menyerap radiasi lain yang berasal dari lawan jenis dan pada waktu itu usia saya sudah 25 tahun.
Pertanyaanya, mengapa dipersoalkan tentang menagi hati ini? Jawabannya karena saya sudah menentukan pilihan, yakni serah diri kepada Tuhan. Jawaban itulah yang memberanikan saya maju ke altar suci. Kaul kemurnian komitmen cinta, buka inisiatif dari diri saya melainkan juga dari Dia. Dalam hal ini saya mau mengatakan bahwa saya berjumpa dengan Tuhan yang mengungkapkan cintaNya kepada saya (Bdk. Mrk.15:25). Perjumpaan saya dengan pribadi yang mengasihi saya, “anakKu aku mengasihi kamu dari dulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya”, tidak sebanding dengan pengalaman Santo Paulus melihat Tuhan (1 Kor. 9:1). Sungguh jelas Santo Paulus lebih intim dengan Yesus.
Konsisten pada cita-cita, tidak berarti fanatik. Walaupun saya sudah memilih model cinta Yesus yang di salib untuk mewarnai hidup, sikap dan cara bertindak saya, tidak berarti saya harus bersikap kasar terhadap para gadis, melainkan sebaliknya. Alasannya karena percikan cinta Allah ada juga dalam diri para gadis. Sejak saya terinsipirasi untuk menuangkan pengalaman cinta saya akan Tuhan ini, sudah ada dua gadis menghadiahi saya dengan ciuman. Tanda ini sederhana, tapi bagi saya besar artinya, yakni senantiasa menghidupkan cinta romantis Yesus yang disalibkan untuk saya yang tak berharga ini. Itulah sebabnya hati ini harus diamati ke mana arahnya. Karena Sang pemberi Cinta di hati ini, alamat-Nya di kayu palang, maka hati ini juga harus diserahkan bulat-bulat hanya untuk-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar