Sempat malu punya ayah pedagang keliling, saat dewasa Mono justru memilih pekerjaan yang sama. Peruntungan Mono makin bersinar ketika ia menemukan lahan kosong untuk berjualan ayam bakar di pinggir jalan.
“Di antara tujuh kakak saya, saya mendapat pendidikan paling tinggi. Saya tamat S3, alias SD, SMP, SMA,” kata Agus Pramono, mengawali obrolan siang hari di gerai Ayam Bakar Mas Mono, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu.
Seperti anak daerah pada umumnya, Mono yang asli Madiun, mencoba peruntungan ke Jakarta. Hanya berbekal ijasah SMA, Mono akhirnya menjadi Office Boy (OB) di salah satu kantor konsultan arsitektur, pada 1999.
“Jujur, saya malu jadi OB. Tapi, daripada nganggur dan nggak ada pekerjaan lain, saya menjalani pekerjaan tersebut dengan sungguh-sungguh,” kata Mono.
Hanya dalam tempo satu tahun, Mono sudah menduduki jabatan supervisor. Jabatan itu membuat Mono layaknya pekerja kantoran pada umumnya. Ia punya meja dan tiap pagi ada secangkir teh hangat. “Ini bikin saya merinding,” aku pria kelahiran 28 Agustus 1974 ini. Mono teringat, dahulu dirinya yang menyediakan secangkir teh untuk orang lain, tapi kemudian ia mendapati ada secangkir teh untuk dirinya.
Meski sudah menjadi pegawai kantoran, Mono merasa ada yang kurang. “Saya ingin menjadi pengusaha,” tegas dia. Di benaknya, entrepreneur memiliki peluang lebih besar untuk menjadi kaya ketimbang menjadi karyawan biasa.
Pada 2001, Mono memutuskan resign dari pekerjaannya dan menjadi penjual gorengan keliling. “Selain modalnya kecil, gorengan disukai banyak orang,” kata dia, memberi alasan. Sebenarnya, saat anak-anak, ia pernah malu karena ayahnya menjadi pedagang keliling. Ironisnya, sekian tahun kemudian, Mono melakukan hal yang sama. Tentu saja, pilihan tersebut mendapatkan tentangan dari keluarga. Keluarga kecewa karena Mono justru meninggalkan pekerjaan kantoran, yang di mata mereka sudah “wah”. Tapi, Mono tetap teguh pada pendiriannya.
Ketika mangkal di depan Universitas Sahid di kawasan Tebet, Mono melihat ada lahan kosong di seberang jalan. “Saya langsung action. Saya pikir dagang nasi dan ayam bakar pasti ngasih keuntungan lebih besar daripada sekedar jualan gorengan,” kata Mono.
Singkat cerita, Mono pun memulai usaha ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo. Bermodal Rp500.000 ia membeli gerobak dorong, lima ekor ayam, beras, dan peralatan dagang lainnya. Sialnya, di hari pertama jualan, seluruh jualan Mono terjatuh karena gerobak terguling. Tapi, itu tak menyurutkan niatnya untuk berbisnis.
Benar saja, usaha kaki lima Mono berkembang pesat. Bahkan, suami Nunung Pramono ini mampu mempekerjakan enam karyawan dan menerima pesanan katering ratusan porsi dari beberapa stasiun televisi swasta, setiap harinya.
Semua berjalan sempurna, hingga suatu hari, Mono mendapati truk-truk trailer berada di sekitar warungnya. “PKL akan digusur, mau ada pembangunan SPBU,” kata dia.
Sejatinya, sudah lama ia mendengar rencana tersebut. Tapi, tak pernah ada tanda-tanda proyek bakal dimulai. Jadi, Mono tenang-tenang saja. “Saya lalu gerak cepat. Saya tanya ke setiap pelanggan: punya lahan kosong nggak? Saya mau pindah nih, kena gusuran,” kata ayah dari Novita Anung Pramono ini.
Beruntung, seorang pelanggan menawarinya lahan sempit di Jalan Raya Tebet. Semula, Mono enggan karena lokasinya benar-benar terpencil. Tapi, si empunya lahan, Hajah Bagir, meyakinkan Mono kalau makanan enak pasti dicari. Tepat seperti perkiraan, warung Mono tetap ramai.
Dan, karena terlalu ramai, Mono lalu mencari tempat untuk gerai keduanya. “Pertimbangan saya mencari lahan untuk gerai kedua bukan atas pertimbangan duit, tapi murni kasihan dengan pelanggan. Mau makan kok harus antre berdiri,” kata dia. Dalam hitungan bulan, Mono memiliki gerai kedua, yang hanya berjarak 10 menit perjalanan dari gerai pertama.
Setelah pembukaan gerai kedua di Tebet, Mono mengaku ketagihan membuka gerai baru. Kini, dia memiliki 15 gerai Ayam Bakar Mas Mono. Ini belum termasuk gerai-gerai Pecel Lele Lela, Bakso Moncrot, dan Es Teler Panglima. Baru-baru ini, lewat PT Panen Raya Indonesia, dengan menggandeng Hendy “Baba Rafi” Setiono, Mono berencana go international.
Mono mengaku sebagian impiannya sudah terkabul, “Saya akhirnya punya warung yang bisa buka sampai malam, hari libur tetap buka, dan menjual minuman.” Begitu sederhana. (AWN)