ama Bakmi Gila justru ngetop di kota-kota besar di luar Jakarta, perlahan tapi pasti Bakmi Gila ingin tampil setara merek-merek besar lainnya. Bangun pondasi yang kuat, setelah siap, saatnya gencar lakukan penetrasi pasar.
Dua sahabat ini sepertinya memang ditakdirkan berjodoh. Bukan dalam hal membina rumah tangga, namun jodoh soal bisnis dan wirausaha. Hendry Ramdhan dan Baihaki Ageng Sela telah bersahabat semenjak duduk di bangku kuliah. Walau mengambil bidang studi yang berbeda, namun ternyata untuk urusan nyali berbisnis, mereka satu tujuan.
Hendry dan Baihaki sudah menjajal bangun usaha kecil-kecilan sejak kuliah, mulai dari jualan minuman seperti jus, sampai melakoni dagang jagung manis yang diberi saos sambal dan mayonaise. Tidak hanya di kantin Universitas Indonesia tempat mereka menimba ilmu, namun dagangan mereka juga merambah ke beberapa kantin universitas di Jakarta.
Sayangnya, saat masih menjadi “collegepreneur”, usaha mereka sering tak langgeng. Belum setahun berjalan, bisnis duo mahasiswa ini sudah harus harus gulung tikar. Tapi keduanya sepakat, meski menangguk rugi, pengalaman berbisnis ketika itu nilainya lebih mahal.
Bisnis Patungan
Sejatinya, saat itu, usaha kecil yang mereka jajal bukan hanya hasil patungan Hendry dan Baihaki. Melainkan juga dimodali kawan-kawan kampus mereka.
Ketika mereka lulus kuliah pada 2004, kawan-kawan Hendry dan Baihaki, yang semula menjadi pemodal bisnis, memilih bekerja kantoran. Sementara itu, naluri bisnis keduanya justru makin menggebu. Alhasil, setahun setelah menggenggam ijasah sarjana, keduanya merintis bisnis kuliner. Mereka memilih menu bakmi setelah melalui serangkaian proses riset dan pertimbangan. “Data hasil riset yang kami dapat menyatakan bahwa mie adalah pilihan makanan setelah nasi. Dan Indonesia adalah negara pengonsumsi mie terbesar kedua setelah Cina. Dari situlah kami makin yakin akan potensi bisnis kuliner khususnya mie,” jelas Hendry.
Keduanya sepakat untuk patungan modal sekitar Rp60 juta. Sebagian dari modal patungan itu digunakan untuk membeli mesin pembuat mie. Di tengah jalan, ternyata ada investor baru yang tertarik dengan konsep dan usaha mereka, Nurlaila Harahap pun resmi bergabung dan memperkuat permodalan mereka.
Setelah berbagai persiapan dan pengembangan resep, pada Mei 2006 Bakmi Gila resmi jualan. Awalnya, Bakmi Gila beredar di masyarakat dengan menggunakan gerobak. Namun, karena harga yang dipatok Bakmi Gila lebih mahal dibandingkan bakmi gerobak lainnya, saat itu, Bakmi Gila pun sepi pembeli. “Kami jual dengan harga Rp8000/mangkok, sementara harga pasaran ketika itu hanya Rp5000/mangkok,” kenang Hendry. Waktu itu, mereka mematok harga lebih mahal karena hanya menggunakan bahan baku yang berkualitas.
Dus, Bakmi Gila dengan versi gerobak pun hanya bertahan selama enam bulan.
Tapi, tiga sekawan ini pantang menyerah. Mereka memutar otak. Setelah berpikir dan berhitung, mereka akhirnya memilih konsep gerai. Pada 2007, Hendry, Baihaki, dan Nurlaila meresmikan gerai pertama Bakmi Gila di sebuah roko di perumahan Vila Nusa Indah, Bekasi.
Tenar di Medan
Ternyata peralihan format jualan dari gerobak ke ruko cukup efektif. Perlahan tapi pasti nama Bakmi Gila semakin dikenal. Jumlah pengunjungnya juga terus bertambah. Saat ini di tiap gerai, ada sekitar 50-100 pengunjung saban hari. Tentu saja, jumlah ini bakal meroket saat akhir pekan. Adapun omzet per harinya antara Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.
Menariknya, nama Bakmi Gila justru menjadi top of mind di kalangan warga Medan. Dalam sehari, dua gerai Bakmi Gila di Medan bisa meraup omzet masing-masing Rp8 juta dan Rp4 juta. Berlipat dari pendapatan gerai di Bekasi.
“Gerai kita di Medan memang paling besar. Oleh karena kapasitas ruang lebih besar, sudah tentu pendapatannya lebih besar,” kata Hendry, bangga. Selain itu, lanjut dia, orang Medan sudah menganggap brand Bakmi Gila sebagai “merek generik”. “Orang Medan itu kalau menyebut bakmi, pasti Bakmi Gila,” ucap dia.
Kedua gerai Bakmi Gila di Medan dikelola dengan konsep kemitraan. Perkenalan Hendry dan Baihaki dengan pengusaha lokal Medan tidak lepas dari prestasi mereka, ketika berhasil menjadi pemenang ketiga Entrepreneur Award 2008. Kemenangan ini berbuah liputan di berbagai media, yang akhirnya mengenalkan mereka ke pengusaha lokal Medan yang tertarik membuka Bakmi Gila. Ternyata sambutan masyarakat bagus, dan penjualan Bakmi Gila di Medan jauh lebih bagus ketimbang outlet lainnya.
Langgengnya kemitraan ini kemudian melatarbelakangi kebijakan mereka untuk menjalin kerjasama dengan hanya dengan satu mitra di wilayah yang sama. “Kalau komunikasi terjalin baik dan pembayaran royalti lancar, maka kita akan jaga kerjasama dengan mitra tersebut saja,” imbuh Hendry.
Buka Sistem Franchise dan Bagi Hasil
Walau baru resmi membuka kesempatan franchise di tahun lalu, namun sejatinya Bakmi Gila sudah merintis kemitraan jauh sebelum itu. Suksesnya jalinan kerjasama dengan pengusaha lokal Medan itu juga menjadi salah satu hal yang mendasari pilihan Bakmi Gila membuka kesempatan franchise.
Sejauh ini Bakmi Gila sudah memiliki tujuh outlet yang sebagian dikelola secara franchise sementara sisanya dengan pola kerjasama bagi hasil (revenue sharing).
Bakmi Gila menawarkan harga investasi baik untuk franchise maupun dengan sistem revenue sharing sebesar Rp125 juta. Angka ini di luar sewa tempat dan pajak. Hendry memperhitungkan franchisee maupun mitra bisa mencapai BEP dalam 14 bulan.
“Konsep revenue sharing kami tawarkan buat investor yang punya lokasi bagus tapi terbatas waktu untuk mengelola. Jadi dengan sistem ini kita bagi hasil 70:30. Sebanyak 70% pendapatan untuk pemodal, sedangkan 30% sisanya untuk pihak Bakmi Gila, sebagai pengelola,” urai Hendry.
Lebih lanjut Hendry menuturkan bahwa sistem revenue sharing hanya ditawarkan untuk mitra yang berada di Jabodetabek atau kawasan yang mudah terjangkau oleh pihak Bakmi Gila. Jika ada peminat yang berlokasi nun jauh di luar Bekasi, Hendry biasanya menyerahkan pengelolaan oleh pihak mitra. Hal ini berarti kerjasama dilakukan dengan konsep franchise.
Selama ini, Bakmi Gila menyasar penetrasi pasar ke wilayah di luar Jabodetabek. Selain pertimbangan harga sewa tempat yang lebih murah, persaingan antarpenjual bakmi juga belum berdarah-darah. “Bisnis kuinerdi luar Jakarta menyimpan potensi menjanjikan,” ungkap Hendry. Di Jabodetabek sendiri, Bakmi Gila memiliki tiga gerai, antara lain di Depok dan Bekasi. Menariknya, Hendry mengincar lokasi gerai di wilayah perumahan.
Setelah sukses di Medan, saat ini Bakmi Gila tengah berancang-ancang untuk berekspansi ke Yogyakarta, Surabaya, Pekanbaru, dan Manado. “Kami tak mau terlalu ngoyo berekspansi. Kami hendak menguatkan pondasi internal lebih dulu. Kalau memang belum mampu, kami tak memaksakan untuk membuka gerai baru di wilayah baru,” kata dia.
Tentu saja, Hendry tak asal mendirikan gerai di kota di luar Jabodetabek. Pihaknya selalu melakukan perhitungan dan persiapan yang matang. “Kami bukan sekadar mengejar jumlah gerai atau keterkenalan semata. Namun, lebih pada keinginan untuk menciptakan bisnis yang langgeng, jangka panjang, dengan target omzet yang selalu tercapai,” tegas Hendry. Di ujung perbincangan, Hendry menuturkan bahwa Bakmi Gila terus melakukan inovasi dalam resep dan rasa. “Saya targetkan, akhir tahun ini kami punya 100 menu,” pungkasnya. (Jo)
Kamis, 05 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar