Masih saja teringat kala itu, aku dan sekelompok orang dari forum religius mengadakan aksi sosial di Merapi awal tahun ini. Tidak seperti biasanya jadwal harian kumunitas para religius mahasiswa yang berdomisili di kota Yogyakarta, mengalami perubahan. Biasanya jadwal tetap bangun pagi pkl 04.30 mandi lalu ibadat atau ofisi pagi jam 05.00 dilanjutkan dengan misa kudus pkl 06.00 wib di kapel, namun saat ini, jadwal tersebut sedikit lain. Juga dalam berbusana setiap harinya dengan jubah, kini berganti pakaian profan, baju kaos lengan panjang, ketat, dipadu celana jeans atau rok celana, tidak lupa kain pembungkus kepala dan topi. Ada juga yang menyediakan peralatan berupa pacul, parang dan linggis untuk dibawa serta. Rutinitas ini sedikit lain disesuaikan dengan jadwal dari panitia pelaksanaan penanaman seribu bibit pohon mahoni di Lereng bukit Merapi, oleh Forum Biarawan-Biarawati (FBB).
Pengalaman menarik dari kegiatan ini, tidak hanya dialami oleh satu komunitas saja, komunitas para frater misalnya jadwal doa ofisi pagi ditiadakan dan digabung dengan Misa kudus tepat jam lima. Pada hal biasanya sebelum Misa diadakan Doa ofisi bersama. Para frater ada yang telat masuk kapel berhubung menyiapkan peralatannya. Usai Misa langsung sarapan ternyata yang bertugas masak pagi itu, tidak ada, sambil menggerutu para frater gotong royong masak mie rebus pada hal waktunya tinggal 10 menit lagi. Hal menarik juga diungkapkan Sr Marsellina, Pi, komunitas mereka sengaja mengundang Pastor untuk merayakan Misa pagi di komunitas pkl 05.00, sebelum misa mereka sudah mempersiapkan diri dan ikut misa dengan memakai pakaian kerja, “sesudah misa kami langsung sarapan tapi makan kayak lomba lari saja” tuturnya. Lain halnya dengan satu kawan komunitasku, katanya, dia bangun telat alasannya hari libur tidur panjang, setelah sadar ternyata harus lebih awal bangun, dari hari biasanya agar tidak ketinggalan bis.
Pengalaman berharga juga dialami peserta ketika mereka hadir dan menyaksikan bekas daerah luapan lava dingin di lokasi. Semua mata dan bibir hanya terdiam menyaksikan pohon dan rumah penduduk rata tersapu oleh lumpur pasir. Onggokan bebatuan hitam dari letusan Merapi nampak jelas beserakan di kiri-kanan jalan yang dilaluinya. Hati kecil lalu bertanya bagaimana warga segera mengalami damai dengan situasi serba sulit itu? Kehadiran adalah jawabannya. Cukup hadir tanpa membawa segudang janji dan sebakul identitas sekedar untuk dikenal dan dipublikasikan. Kehadiran seperti inilah dituntut dari setiap biarawan, hadir dengan tulus, hadir dengan uluran kasih, tanpa membawa identitas dan tidak untuk tebar pesona bagi yang dilayani. Sekedar mencuri perhatian masyarakat.
Menurut penuturan para peserta mereka sangat senang dengan kegiatan seperti ini, selain efeknya positif, bisa berbagi sedikit dari apa yang dimiliki sebagai kaum religius mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di kota Yogyakarta ini. Mereka juga punya hasrat untuk terlibat langsung, mau berbagi dengan alam dan warga setempat, mendengar langsung kisahnya di lokasi bencana, bukan berita hasil polesan media massa, bukan juga ucapan dari katanya ini, katanya itu melainkan datanya sesuai dengan faktanya.
Kesempatan ini, bukan sekedar upacara seremonial atau acara dadakan instan, melainkan kegiatan yang datang tulus dari para religius mahasiswa sebagai satu kesatuan ciptaan Tuhan. Lewat wadah forum inilah, selain tercipta nuansa persaudaraan antar anggotanya, mereka juga saling mengenal antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya. Kehadiran kaum berjubah di tengah masyarakat tidak hanya sebagai orang yang dihormati oleh umatnya melainkan turut hormat kepada ciptaan Tuhan dengan membaur merasakan derita umatnya sendiri.
Menanam sebatang pohon bagi peserta bukanlah hal yang luar biasa. Melainkan makna dari kegiatan ini, menjadi refleksi khusus dari 160 orang yang hadir saat memberikan konstribusinya. Kegiatan menanam di alam bebas memberikan kesan dan tantangan tersendiri. Selama ini peserta yang umumnya berasal dari religius mahasiswa. Mereka diutus oleh kongregasinya untuk melanjutkan studi. Sehingga mereka lebih sibuk dengan urusan kampus dan kuliahnya. Melalui kegiatan ini merupakan kesempatan untuk bercengkeramah dengan alam menjadi barang langka. Kesempatan inilah menjadi motivasi kuat bagi mereka berbagi rasa dengan alam. Lewat alam Tuhan menyapa umatNya dengan cara unik dan hanya mereka yang berhati tulus dan ikhlas mendengar seruan Tuhan itu.
Melepas jubah bukan berarti melepas panggilan. Melepas jubah adalah meninggalkan rasa ingin dihormati, meninggalkan gengsi, apatis dan kurang proaktif dengan situasi disekitar yang dialami umat. Mereka dituntut berani terjun masuk lebih dalam untuk merasakan derita umat, panggilan umat akan pendampingan nyata tanpa terbatasi oleh status yang membuat persaudaraan diantara kaum berjubah dengan awam terasa kaku. Itulah fakta ketika mereka langsung berlelah-lelah mengangkat bibit pohon, menggali lobang dan menanam pohon demi keselamatan alam ini.
Seperti halnya Yesus sang guru sejati, Dia meninggalkan kerajaan-Nya, dan hadir di tengah umat-Nya, ia mau berbagi dan merasakan betapa kita manusia menderita dan butuh pertolongan, butuh suasana baru butuh kelahiran baru. Kedatangan Kristus disambut dan dinantikan banyak umat manusia, hal inilah yang dialami oleh mereka yang tergabung dalam Forum Biarawan-Biarawati Religius Mahasiswa, mereka mau melepaskan identitas diri sejenak untuk bersama-sama lebih dekat dengan umat dan alam semesta.(Froby)
0 komentar:
Posting Komentar