Dari ukuran keseriusan membuat film yang menggambarkan era 40-an,
film ini top punya. Suasana latar gedung-gedung, properti hingga kostum
benar-benar membawa kita kembali ke era itu.
Film ini misalnya, jauh melebihi trilogi film “Merah Putih” yang
disutradarai Yadi Sugandi. Di Merah Putih, pasukan Indonesia terlihat
ganteng-ganteng, rapih jali, bersih, dengan seragam tidak kotor, dan
persenjataan seperti pasukan yang sudah mapan. Nahh, di Soegija, para
laskar ini benar-benar mengambarkan tentara dari negara yang baru seumur
jagung. Mereka berkaos compang-camping, dekil, kumuh, telanjang kaki.
Sangat pas dengan gambaran tentara Indonesia masa itu.
Sayang, keunggulan film ini, buat saya hanya di situ. Cuma sampai membangun nuansa dan suasana 40-an.
Tetapi dari segi cerita, terus terang saya tidak menikmati film ini.
Seperti sayur yang terlalu banyak bumbu, begitulah kesan saya soal
Soegija.
Ceritanya terlalu terpencar dan tidak fokus. Terlalu banyak tokoh
yang ditonjolkan, dan terlalu banyak pesan yang ingin disampaikan
melalui tokoh-tokoh tersebut.
Kita bakal bertemu dengan cerita Ling-Ling dan ibunya yang terpisah
karena perang. Kita juga bakal melihat Suzuki Komandan Jepang yang mudah
tersentuh hatinya jika mengingat anaknya. Juga akan bertemu dengan
Hendrik wartawan Belanda dan Mariem gadis pribumi Katolik, juga akan
bertemu sosok Lantip pemuda Katolik yang mengangkat senjata memimpin
pasukan. Dia selalu meminta nasehat Soegija. Selain itu, ada juga Robert
serdadu Belanda yang gila perang, tetapi menjadi melo saat menemukan
seorang bayi korban perang.
Untuk semua tokoh itu ada adegan-adegannya sendiri yang terlalu
dipaksakan untuk membawa sebuah pesan ke penonton. Misalnya, Ling-Ling
yang Tionghoa dengan adegannya bertanya kepada Soegija soal mengapa
orang Tionghoa selalu menjadi korban penjarahan.
Meski film berjudul Soegija, tokoh Soegija malah tampak bukan menjadi
yang utama. Terbagi dengan karakter-karakter fiktif yang terlalu banyak
diceritakan.
Dalam film ini, saya tidak mendapat gambaran soal bagaimana sosok
Soegija pada masa itu, peran pentingnya, pengorbanan pribadi yang harus
dilakukannya sebagai pemimpin umat di negara yang tengah bergejolak.
Dilema-dilema yang harus dihadapinya sebagai uskup dan juga sebagai
pendukung republik.
Misalnya adegan dia berunding dengan pemimpin tentara Jepang dan
Sekutu terjadi begitu saja. Sebagaimana juga adegan dia bertemu wakil
Vatikan dan Presiden Soekarno terasa hambar saja. Padahal alangkah lebih
baiknya diungkap lebih dramatis bagaimana perjuangan Soegija
mengusahakan dukungan Vatikan, sehingga negara itu menjadi negara eropa
yang pertama mengakui kedaulatan Indonesia.
Menurut saya, lebih bagus jika film ini hanya terfokus pada sosok
Soegija saja. Sebagaimana film-film tentang kisah hidup orang yang
inspiratif. Misalnya seperti film tentang musisi Ray Charles Robinson,
Muhammad Alie atau Nelson Mandella. Bahkan saya lebih puas menonton film
The Rise of Evil yang menceritakan kisah hidup Pemimpin Nazi Adolfi
Hitler, mulai dari lahir sampai kematiannya. Buat saya, penggambaran
karakter di film-film tersebut sangat kuat. Di The Rise of Evil
contohnya, penonton diajak memahami bagaimana pengalaman hidup,
lingkungan, yang akhirnya membentuk Hitler jadi seorang tiran.
Ekspektasi saya, sebenarnya Soegija dibuat seperti film-film bertema
biografi seperti itu. Penyampaian pesan-pesan pluralisme, kemanusiaan,
kebangsaan, 100 persen katolik dan 100 persen Indonesia, saya kira bakal
bisa lebih lugas digambarkan hanya melalui kisah seorang Soegija saja.
Tidak perlu lagi menaruh banyak karakter fiktif yang malah seperti
dipaksakan.
0 komentar:
Posting Komentar